Selasa, 09 Agustus 2011

Megadeth – Endgame (2009)

Apa yang terbayang saat mendengar kataMEGADETH“? Kalau jawabannya adalah salah satu dari: musik yang rumit, suara vokal yang tiada duanya, tukang gonta-ganti gitaris, atau orang yang pernah menghajar James Hetfield, maka tidak salah lagi, Megadeth yang Anda maksud adalah salah satu dari THE BIG FOUR pionir dunia thrash metal.

Walaupun sering gonta-ganti personil, formasi Megadeth yang sering dianggap paling “mengerikan” adalah formasi Dave Mustaine (vokal/gitar), Marty Friedman (gitar), Dave Ellefson (bass), dan Nick Menza (drums), formasi ini pernah melahirkan album keramat berjudul “Rust In Peace” (1990).
Sekarang, formasi tersebut tinggal kenangan, gantinya adalah Chris Broderick (gitar), James Lomenzo (bass), Shawn Drover (drums), dan tentunya Dave Mustaine (vokal/gitar). Chris Broderick yang ex. Jag Panzer merupakan gitaris dengan skill tinggi, disebut Mustaine sebagai gitaris terhebat yang pernah dimiliki Megadeth (komentar yang mungkin membuat Marty Friedman di Jepang sana bermuram durja). James Lomenzo sudah lama dikenal sebagai bassist… WHITE LION! Yah, tidak perlu protes, setidaknya “À Tout Le Monde”" tidak lebih galak dibanding “You`re All I Need”-nya White Lion, tapi percayalah, Dave Mustaine tidak sedang mabuk saat merekrut James Lomenzo. Shawn Drover? Dia adalah drummer unik dengan gaya open handed drumming, menggebuk snare drum dengan tangan kanan.

Formasi ini, menelurkan album anyar bertajuk “Endgame”, yang jelas bukan berarti Mega-end alias akhir dari Megadeth, karena power dan energi album ini tidak berbeda dengan Megadeth 1-2 dekade silam.
Lagu pembuka berjudul “Dialectic Chaos” merupakan sebuah track intrumental, yang memang cukup lazim dalam genre heavy metal. Tetapi dalam sejarah Megadeth, hal ini jarang-jarang dilakukan. Tercatat track instrumental sebagai pembuka hanya terdapat pada album “So Far So Good… So What!” (1988) dengan “Into The Lungs Of Hell”.
“Dialectic Chaos” sarat dengan solo gitar brutal dari Mustaine dan Broderick, bagi yang mengenal style solo gitar Mustaine sebagai satu-satunya personil tetap Megadeth dari awal mula, tidak sulit membedakan porsi solo Mustaine dan porsi Broderick. Solo Broderick yang sesekali menggunakan teknik sweep picking dan arpeggio memberi warna baru pada musik Megadeth (walaupun Marty Friedman juga biangnya solo sweep picking + arpeggio, tetapi tidak diforsir sebanyak ini di Megadeth).
Tanpa tedeng aling-aling, pada lagu kedua Dave Mustaine langsung “menggerutu” diiringi dengan hamburan riff gitar yang rumit dan melodi gitar yang mencuri-curi, full speed dan powerful. Telinga awam akan mengatakan ini lagu hancur-hancuran yang dimainkan saat mabuk, tetapi telinga Megadeth-mania paham benar lagu seperti ini hanya dapat diciptakan dan dimainkan oleh musisi-musisi jenius sekaliber Mustaine dkk. Kalau dibandingkan dari sisi kompleksitas, sang rival abadi Metallica pun belum dapat menandingi Megadeth.
Lagu selanjutnya, “44 Minutes” menurunkan tempo permainan, lagu ini menampilkan chorus yang catchy, sekilas merupakan komposisi sederhana (untuk kelas Megadeth), tetapi kalau didengar sampai ke bagian solo gitar, maka kesan yang didapat adalah Mustaine/Broderick = pasangan baru duo gitaris papan atas dunia! Dan mungkin kuping Marty Friedman akan panas mendengar permainan cepat dan rumit Broderick di akhir lagu yang sedikit nge-Cacophony.

Lagu menarik lainnya adalah “Bodies”, yang merupakan track yang memuat “signature” khas Megadeth: dentuman bass-line yang gagah dibalik riff patah-patah (bukan goyang patah-patah lho!), dan chorus yang friendly di telinga fans Megadeth.

“The Hardest Part of Letting Go… Sealed With A Kiss” mungkin merupakan lagu yang paling mudah diingat (lagunya, bukan judulnya). Lagu yang ballad tapi metal dan metal tapi ballad, tergantung dengarnya pas bagian mana. Sekaligus menunjukkan bahwa Dave Mustaine juga bisa bernyanyi dengan “normal” (ini juga tergantung dengarnya pas bagian mana).

Secara keseluruhan, album ini enerjik, agresif, bermutu tinggi, walaupun belum sanggup menandingi “Rust In Peace”. Riff ruwet memang banyak, tetapi riff seunik “Holy Wars…The Punishment Due” mungkin hanya tercipta sekali dalam seratus tahun, solo gitar maut juga banyak, tetapi kehilangan eksotika seorang Marty Friedman. Tetapi yang jelas, mendengarkan “Endgame” tetap mengundang decak kagum tak berkesudahan. Mungkin saja, beberapa lagu dalam album ini akan menjadi favorit Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar